Kategori

Asmaul Husna

Tukar Link

Copy paste link dibawah ini :
Minggu, 08 Agustus 2010

Martabat Wakil Rakyat


KOMPAS.com — Marilah kita main hitung. Di luar biaya reses dan tunjangan lain, gaji bersih yang diterima anggota DPR per bulan adalah sekitar Rp 57 juta atau Rp 684 juta per tahun. Dalam lima tahun, gaji yang mereka terima adalah Rp 3.420.000.000 (Rp 3,42 miliar). Taruhlah mereka mengeluarkan biaya ”administrasi” pemilu Rp 1 miliar, maka masih ada ”laba” Rp 2.420.000.000 (Rp 2,42 miliar).

Dengan hitungan kasar, kita dapat menyimpulkan: setiap anggota DPR di Senayan hidup supersejahtera. Mereka mempunyai penghasilan per hari minimal Rp 1,9 juta (Rp 57 juta dibagi 30 hari). Bandingan dengan penghasilan rakyat kecil per hari yang berkisar Rp 20.000 hingga Rp 50.000.

Rakyat kecil pun tak kenal uang reses atau tunjangan gaji, tetapi hanya mengenal ”bonus” penderitaan: dari kesulitan menyekolahkan anak, membayar biaya kesehatan, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang mahal, sampai kesulitan mencari uang itu sendiri. Itu pun, jika tak beruntung, masih mendapat bonus lain: kena ledakan tabung gas atau menjadi obyek penggusuran pasukan polisi pamong praja.

Cita-cita merdesa

Konstitusi kita memiliki tiga kata kunci: melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan kehidupan rakyat. Amanah konstitusi itu dibebankan kepada (para penyelenggara) negara, baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki tiga tugas pokok: pengawasan, anggaran, dan membuat undang-undang (legislasi). Dengan tiga tugas itu, DPR mendorong terwujudnya kehidupan masyarakat yang terlindungi, sejahtera, dan cerdas atau kehidupan yang memenuhi standar merdesa, yakni sejahtera, patut, dan layak.

Target hidup secara merdesa merupakan impian dasar mayoritas rakyat kita. Hidup sejahtera berarti terjamin hak-hak dasarnya: hak mendapatkan kehidupan layak, mendapatkan pekerjaan, hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan keamanan, hak mendapatkan pelayanan sosial, hak mendapatkan kebebasan berekspresi, kebebasan memeluk keyakinan/agama, hak mengembangkan diri, dan lainnya.

Patut dan layak berarti sesuai nilai, etika, norma, dan moral yang jadi basis kehidupan bangsa. Jika DPR adalah lembaga perwakilan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, makna ”perwakilan” harus dielaborasi dan diperkaya dengan makna ”pemerdesaan” rakyat. Bobot makna ”pemerdesaan” dapat dijadikan tanggung jawab moral sekaligus orientasi nilai DPR sehingga mereka wajib merasa bersalah, berdosa, dan malu jika gagal memperjuangkan cita-cita hidup merdesa rakyat.

Kita dapat memahami tindakan aktor film Pong Hardjatmo yang menuliskan grafiti ”jujur, adil, tegas” di atas Gedung DPR Senayan. Pong, seperti juga ratusan juta rakyat Indonesia yang lain, geram melihat dan merasakan kinerja anggota Dewan yang ”adem ayem” dan lebih sibuk dengan ”teater retorik” daripada menggelar teater konkret lewat penuntasan berbagai persoalan besar di negeri ini (kasus Bank Century dan lainnya).

Selama ini, para anggota Dewan di Senayan cenderung memaknai upaya-upaya penuntasan berbagai persoalan besar bangsa tak lebih dari kosmetik politik agar bercitra sebagai hero. Namun, ”perjuangan” itu menguap seiring dengan lunturnya kosmetik. Rakyat hanya disuguhi gegap gempita ”teater politik” melalui berbagai media massa. Sesudah teater itu berlalu, rakyat kembali disergap kesunyian yang panjang dan menyesakkan. Ironisnya, untuk semua pergelaran ”teater politik” itu, negara harus mengeluarkan biaya besar!

Teater sosial

Kita tidak berharap negara ini hanya menjadi panggung ketoprak humor yang ”wagu” dan tidak lucu, tempat para anggota Dewan—yang bergaji Rp 1, 9 juta per hari itu—memamerkan kepiawaian seni lakon (acting) demi entertainment politik yang melelahkan dan membosankan.

Teater sosial yang berlangsung dalam kehidupan masyarakat jauh lebih konkret, spektakuler, dan dramatis; sebuah teater yang muncul dari berbagai kegagalan kebijakan pemerintah terkait hak-hak dasar publik. Teater bertajuk ”Penderitaan Tiada Batas” ini berlangsung dalam setiap tarikan napas rakyat, terutama rakyat jelata.

Masihkah para anggota Dewan tega untuk ”duduk manis”, ”tidur”, dan ”membolos”?

Dengan penuh kepahitan, kita terpaksa mengucap, "Kita membutuhkan wakil-wakil rakyat yang punya martabat". Martabat diukur dari kualitas makna eksistensial melalui kiprah sosial yang penuh komitmen, dedikasi, integritas, dan kapabilitas untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang berperadaban tinggi.

*INDRA TRANGGONO Pemerhati Budaya; Bermukim di Yogyakarta
Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/08/03/09315334/Martabat.Wakil.Rakyat-5

Informasi Beasiswa

Visitor Counter